KU TITiP SURAT UNTUKNYA-



Jalanan masih terlihat sepi, kendaraan masih terpakir angkuh, udara pagi  itu masih sejuk, tiada polusi dan juga bau yang menyengat tajam.Tapi hari itu aneh sekali, padahal di tengah kota, tapi kenapa begitu mengerikan komplek perumahan Bunga Melati ini. Tak seperti biasanya, jika menjelang pagi, tukang sayur keliling sudah berkoar-koar, suaranya menggaung di sudut-sudut komplek perumahan ini, para ibu berduyun-duyun berbelanja sayur mayur, ikan tawes atau sekedar membeli tahu, tempe untuk sarapan pagi. Aneh terasa, asing dan penuh misteri bisikku. Tapi aku masih   terus berjalan menyusuri jalan-jalan komplek perumahan ini, sepanjang perjalanan tak satupun aku melihat batang hidung orang, biasanya, pak Sobari sudah standbay di beranda rumahnya dengan secangkir kopi yang masih mengepul, tak ketinggalan koran yang memuat pristiwa atau berita terbaru tentang negeri ini selalu ia baca. Tapi kini, ia tak terlihat, hanya segelontong koran yang terpajang di atas meja tanpa kepulan asap kopi.

Aku mulai bertanya “Pada kemana penghuni komplek ini ?, aneh”. Tapi aku masih terus berjalan meskipun di benakku masih menyimpan pertanyaan yang mungkin konyol.

Kurang lebih sudah satu kilo aku berjalan kaki di komplek perumahan bunga melati, tapi tetap saja sepi, hampa yang kupandangi. Pagi itu aku berniat memberikan surat kepada Pak Tohir.

Sebelumnya, tepatnya malam jumat, aku baru saja usai melaksanakan sholat Isya di Mushola Al-Iman yang letaknya paling terpencil di sudut kota, cukup jauh dari komplek perumahan bunga melati. Aku sendiri bukanlah orang perumahan, keluargaku tinggal di jalan Bungur nomor 09 jakarta selatan, hanya butuh 10 menit untuk sampai ke komplek bunga melati menggunakan angkutan umum, dan 30 menit jika berjalan kaki. Usai melaksanakan sholat Isya, bersama jamaah yang ada pada malam itu, seperti biasa, usai salam, aku beristigfar dan membaca tasbih, tahmid dan takbir 33 kali, memang itu sudah lazim di kalangan ummat muslim. Semua jamaah sudah kembali pulang ke rumahnya masing-masing, tinggal aku sendiri di dalam mushola. Rasanya bathin begitu tentram dan tenang di malam itu, “Inikah hakikat dari sholat?” gumamku.

Mushola itu begitu kecil, ukurannya hanya 7 x 5 m, hanya bisa menampung 20 orang, tak ayal jika sholat dzuhur tiba, orang-orang harus ihklas mengantri karena kuotanya hanya bisa menampung 20 orang saja. Mulai dari sopir, pedagang, pekerja, pengangguran dan masyarat sekitar yang sholat di sana. Hanya sholat subuh saja yang lengang, karena sebagian orang masih asik dengan tidurnya.

Aku terbangun kaget, ternyata aku tertidur di dalam mushola, mungkin terlalu cape sehabis kerja manggul di pasar. Ku lihat jam yang sudah kusam di dinding mushola, jarumnya menunjukan jam setengah sepuluh malam. Aku segera bangkit, dan ku basuh wajahku dengan air, biar kantukku hilang. Kumatikan semua lampu dan kipas yang sejak tadi menyala, lalu aku keluar dan ku tutup pintu mushola yang sudah rusak engselnya, beruntung hanya satu engsel yang rusak, masih ada satu engsel lagi yang masih bisa menopang pintu mushola itu. Baru sepuluh langkah aku meninggalkan mushola, jalanan  begitu gelap, lampu penerang yang biasa menyala di malam hari, kini mati karena sudah dua hari rusak dan belum di ganti. Aku berjalan dengan penuh santai, namun tiba-tiba pundakku ada yang menepuk dari belakang, seketika aku kaget ! hampir copot jantungku malam itu, ku putar arah badanku, sosok lelaki yang sudah tua, memakai pakaian putih bersih, berjalannyapun masih tegak berdiri.

“Nak tolong sampaikan surat ini untuk bapak Tohir yang ada di komplek bunga melati”,

Aku terbengong sebentar dan bulu kudukku merinding hebat, “Siapa kakek ini?”, aku masih bertanya dalam benakku antara tidur dan sadar.

“Kakek siapa namanya ?”

Aku langsung menanyakan identitasnya, tapi ia tak menjawab dan terus berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri mematung di kegelapan malam.

“Astagfirullah... siapa tadi ya kakek itu, kok misterius banget !”, sepanjang jalan, aku masih saja penasaran dengan kakek tua itu. Tak terasa akupun tiba di rumah tepat jam sepuluh malam.

Ku buka pintu kamarku, lalu ku banting tubuh ini ke ranjang bale yang hanya beralaskan tikar satu helai dan bantal yang sudah lama kusam. Sungguh, malam itu tidak bisa tidur cepat dan pulas, wajah misterius kakek itu masih terus menghantuiku.

“Bismika allahumma ahya wabismika amut”, ku kamitkan do’a berharap Tuhan menjaga tidurku malam itu dan masih bisa bangun pagi. Ku gulingkan badanku sana kemari, tetap saja kakek tua itu masih menghantuiku, tak terasa sudah jam satu malam mataku masih saja siaga.

“Allahu akbar Allahu akbar....” kumandang adzan subuh mengalun merdu dari salah satu masjid yang lumayan dekat dengan rumahku. Aku segera bangun, dan mengambil air wudhu di kamar mandi belakang. Bagiku waktu subuh adalah waktu yang istimewa, karena di waktu itulah dua Malaikat turun ke bumi untuk mendoakan manusia yang senantiasa menjaga taat kepada Tuhannya. Guru sekolahku pernah berkata “Rajinlah kalian bangun di waktu subuh, jangan lupa sholat subuh, karena di waktu pagi itulah, dua malaikat turun ke bumi untuk mendoakan kita yang senantiasa rajin ibadah, sedekah dan lain-lain, malaikat yang satu berdo’a “ Ya Allah berikanlah ganti kepada orang yang selalu berinfak” dan yang sat lagi berdo’a “Ya Allah berikanlah Kencura bagi orang yang bakhil”.

Ku lihat ibu sudah sibuk di dapur, ibu selalu bangun lebih awal dariku. Ia adalah sosok ibi yang sempurna untukku, kasih sayangnya tak pernah pudar, ketika aku masih menganggur, ia tak pernah memarahiku, justru sikap ibuku itulah, aku mulai berpikir dan berbenah, dan aku pun mencoba mencari kerja dan alhamdulillah saya kerja jadi tukang panggul, dalam hatiku aku selalu berdo’a “Ya Tuhan terimaksih atas pekerjaan yang mungkin hina, tapi aku bersyukur kau tunjukan cara mencari rizki yang halal ini, Tuhan perbaikilah nasibku”.

Usai solat subuh, aku masih ingat amanah kakek tua itu, bergegas aku berjalan ke komplek bunga melati untuk mengantarkan surat kepada pak Tohir. Pak Tohir adalah sosok orang yang sederhana, ia adalah seorang pemuka agama yang konon kesantuan dan kesederhanaannya membuat namanya tercium sampai ke negeri paman Syam, ia di undang untuk mengisi pengajian atau dakwah untuk muslim yang berada di paman Syam. Ia begitu mashur di dalam dan luar negeri. Ia pernah bercerita ketika mengisi pengjian di masjirlahird komplek bunga melati. Ia terlahir dari keluarga miskin, sehingga pendidikannya hanya sampai di bangku sekolah dasar saja, kemudian ia melanjutkan ke pendidikan pesantren salaf, yang kerjaannya hanya mengaji qur’an, hadist dan kitab-kitab kuning saja, tak ada lagi selain itu. Dan bersyukurnya, di pesantren itu ia gratis, karena pertimbangan ekonomi keluarganya. Ia berbeda dengan santri lainnya, ia begitu rajin, tak ia biarkan waktu berlalu tanpa mengaji atau membaca buku-buku agama. Pak kyai ( pengasuh pesantren ) begitu bangga dan sayang kepada santri yang bernama Tohir ini. Tohir satu-satunya santri yang mengerti adab dan perilaku terhadap guru, setiap pagi sehabis ngaji ba’da sholat subuh, ia selalu berinisiatip menyapu halaman dan mengepel rumah pak Kyainya. Tak heran ia begitu di sayang dan ilmu yang di sampaikan gurunya selalu terpatri dalam dadanya.

Delpan tahun ia menuntut ilmu agama di pesantren Al-kirom, dan hasilnya kini ia bisa merasakan sendiri. Berkat keikhlasan, keserhanaan dan kecerdasan dalam dakwah dan mengayomi masyarakat dengan dalil-dali yang sudah membasah di lidahnya itu, kini ia menjadi orang sukses dan terpandang. Ia tak pernah berpikiran bisa pergi ke luar negeri apa lagi negeri paman syam, tapi dengan izin Allah ia ternyata bisa pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan dakwah di luar negeri, padahal ijazahnya hanya ijazah sekolah dasar saja. Rumah yang sekarang ia tempati bersama keluarga besarnya, yang berlokasi di komplek perumahan bunga melati, bukanlah ia beli dari hasil jerih payahnya selama mengabdi untuk ummat, tapi ada pejabat di negeri ini yang berbaik hati kemudian ia membelikan rumah yang berukuran besar, seperti perumahan di Pondok Indah, dan menghadiahkannya kepada pak Tohir dan keluarga besarnya. Sebelumnya pak Tohir tinggal bertetangga dengan rumahku. Tinggalah pak Tohir dan keluarganya kurang lebih sudah hampir lima belas tahun di komplek perumahan bunga melati dan mengabdikan ilmunya untuk masyarakat. Majlis halaqohnya selalu ramai di kerumuni masyarakat untuk menimba ilmu dari seorang  alim yang penuh dengan kesederhanaan.

Ku kerutkan keningku untuk kesekian kalinya, jalan masih saja sepi tak ada tanda-tanda kehidupan. Kini aku sudah sampai di pertigaan, kurang lebih 30 meter lagi aku sampai ke rumah pak Tohir.

Tiba-tiba langkahku terhenti kaku, benakku menyimpan pertanyaan hebat, keringatku dingin, darah seperti terhenti mendadak, ku lihat dari jarak 10 meter sekelompok manusia mengerumuni dalam dan halaman rumah bapak Tohir, ku tajamkan lensa mataku penuh keheranan, “Ada apa ???!”

Terparkir kendaraan mobil, sepeda motor di halaman rumah pak Tohir, di sepanjang jalan ku lihat orang menagis sedu sedan, hatiku dag dig dug tak karuan, aku mencoba mendekat, tapi terasa berat sekali langkah kakiku. Ku lihat bendera kuning berkibar setengah tiang, dengan sedikit keraguan aku menerobos di antara lautan manusia, surat itu masih aku genggam erat di tanganku, aku berhasil masuk ke dalam dan menyaksikan langsung, ternyata pak Tohir telah di panggil oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Mataku berkaca-kaca, perlahan tetesan air kecil membasahi pipiku. Wajahnya senyum nan sayup, dingin sekujur tubuhnya, namun ada yang mengharukan, beliau meninggal dalam keadaan sholat.

Aku tersadar  “Lalu apa hubungannya isi surat ini dengan pak Tohir ?”, aku langsung menyerahkan surat itu kepada ibu Fatimah, ia adalah istri dari pak Tohir.

“Assalamu’alaikum”, aku mengucap salam

“Wa’alaikum salam...” jawab bu Fatimah, sambil menangis pelan “Eh... Ahmad, tumben datang ke rumah ibu, kamu tahu berita dari mana, kalo bapak meninggal ?”

Dengan penuh kebingungan aku menjawab,

“Ia bu saya minta maaf baru bisa maen ke rumah ibu, adapaun tahu dari mana kabar kalo bapak meninggal, saya tidak tahu bu, saya kesini kebetulan mau ngasih suarat ini dari seorang kakek tua waktu malam jumat kemaren, katanya tolong kasihkan surat ini kepada pak Tohir, saya juga ga tahu isinya apa, makannya saya datang ke sini”, ku sodorkan surat itu ke ibu Fatimah, dan perlahan surat itu di buka dan di baca, kulihat bibir ibu fatimah bergetar ketika membaca surat itu, air matanya tumpah ke bumi, seraya menangis, “Bu ada apa ? apa isi surat itu ?” tanyaku semakin penasaran.

“Nak kamu dapat dari mana surat ini ?, kamu tahu isinya apa ?”

“Saya dapat ini dari seorang kakek tua, memakai pakain serba puith, tapi jalannya masih tegap seperti anak muda, kalo isinya saya tidak tahu”.

Ibu Fatimah pun memberikan surat itu kepadaku, aku pun membanya, tidak banyak tulisan yang tertulis di dalam surat itu, hanya kalimat,

“Wahai jiwa yang tenang (beriman) [] dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya []” QS. Al-fajr : 27-28.

Aku pun menangis haru dan penuh syukur, bahwa kakek tua yang menemuiku di malam jum’at itu, bukanlah manusia biasa melainkan Malaikat Allah yang memberi kabar gembira untuk bapak K H. Tohir dan keluarganya.

Sebulan setelah wafatnya bapak Tohir, aku di panggil ibu Fatimah untuk mengurus taman pendidikan qur’an (TPQ) di rumahnya, sekaligus aku di biayai untuk melanjutkan sekolah ke sekolah Madrasajh Negeri 2 Jakarta Selatan untuk menimba ilmu agama dan segala di siplin ilmu lainnya.

Seketika itu pula aku sujud syukur pada Tuhan yang tengah mengijabah do’aku di malam itu, orang tuaku kembali tersenyum lebar melihat anaknya kembali ke bangku pendidikan untuk menjadi orang berilmu dan berguna seperti halnya almarhum bapak KH. Tohir tercinta.

>

Leave a Reply


Terimakasih sudah berkunjung :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

Blogger templates