"MAAFKAN DOSA NEGERI KAMI"



Matahari sudah kembali keperaduannya, waktu sudah menunjukan pukul enam sore, sebagai tanda malam akan menyelimuti Negeri ini, di gedung sana para pemuka agama dan bapak menteri agama sedang sibuk dengan sidang isbatnya, tidak seperti biasanya, terkadang terpaksa mengusap peluh yang mulai membeceki kerah-kerah manusia mulia, padahal di sana terdapat penyejuk ruangan yang siap memberi kesejukan pada jiwa-jiwa yang mulai berkerut keningnya. Di luar sana, media dan kami rakyat kecil sangat antusias menunggu kepastian akan putusan hakim yang amat kami percayai dalam hal yang krusial ini. Bukan apa-apa yang kami tunggu, kami hanya menunggu kapan kami akan mulai berpuasa ? Anak-anak desa sudah sibuk dengan pletasan koreknya, dengan  kopiah serta sarung yang di kalungkannya mereka amat bergembira. Di sana-sini terdengar suara dar ! der ! dor !

 Aku tidak  mengerti, entah ini ajaran agama kami atau memang ini hanya sekedar tradisi untuk menyambut bulan puasa. Pukul tujuh malam selepas isya, stasiun televisi lokal mulai live dengan laporan aktualnya. Aku melihat seorang lelaki gagah dengan pakaian rapih tak lupa dasi yang setia menggantung di lehernya dan peci yang selalu setiasa menaungi kepalanya. Dengan wajah penuh damai sambil mengkerutkan kening bahkan terkadang menaikan sedikit kacamatanya padahal dari tadi posisinya tak berubah. Ia mulai memutuskan sidang isbat dengan ketukan palu di tangan kanannya. Serentak kami yang menonton langsung mengucap syukur hamdalah atas jatuhnya 1 ramadhan 1433 H. Tak serta merta semuanya setuju dengan putusan hakim yang mulia, dari sudut terlontar kalimat “Instruksi, instruksi, instruksi !”, mereka adalah audience yang sejak tadi setia. Bukan rahasia umum lagi, ada di antara saudara kita yang sudah melaksanakan puasa. Inilah keragaman yang harus kita hormati, keragaman yang menumbuhkan ikatan persaudaraan. Tidak ada yang salah, semuanya memiliki dalil masing-masing sebagai pondasi untuk menguatkan pendapatnya, yang salah adalah orang yang mengaku muslim tapi enggan untuk berpuasa. Ummat islam begitu antusias dan berbondong-bondong memenuhi masjid-masjid di tempat mereka tinggal. Hari demi hari kami lalui dengan berpuasa disiang harinya, malamnya kami isi dengan shalat tarawih sunnah berjamaah. Waktu demi waktu kita lalui dengan penuh kesabaran, tapi kita sadar, banyak saudara kita yang berpuasa di hari pertama, kedua dan ketiga, kemudian enggan berpuasa di hari-hari berikutnya. ”Tuhan terimakasih atas jaminan kesehatan dan kesabaran yang Engkau berikan kepada kami.” Sebulan penuh kita berpuasa, bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, lebih dari itu kita harus mengekang hawa nafsu yang mulai menjelma Tuhan dalam kehidupan kita. Tak ayal kita sering mengikuti perintah hawa nafsu dari pada perintah Tuhan. Kembali kita diributkan dengan sidang isbat di gedung mentri agama, kita kembali gusar, gerah bahkan terkadang kita emosi "Ah kelamaan udah ketok palu ja, besok lebaran !." Anak-anak desa sekaligus para orang tua yang mulai sibuk dengan peralatan untuk konpoi takbiran. Di jalan-jalan mereka berbaris rapih, sorak riuh rendah dan gema takbir berkumandng di jalan-jalan . Gelap mulai menyelimuti malam, jalan-jalan ramai oleh kendaraan yang siap berarak-arakan. Namun bapak mentri belum juga mengetukan palu ajaibnya. Momen yang ditunggu-tunggu tiba. Berbeda dengan tahun kemarin yang terlalu molor waktunya, hingga jarum jam menunjukan pukul 9, palu belum juga di ketuk, sehingga di antara kami masih ada yang sholat tarawih dan banyak pula yang sudah mengumandangkan gema takbir. Tahun ini kita senang, karena palu di ketukan sebelum isya. Bukan hanya itu saja, saudara kita yang mendahului puasanya, tahun ini berlebaran di hari yang sama. Malam itu begitu hidup dengan gema takbir di seluruh penjuru dunia. Fajar mulai tampak cerah di upuk sana, awan masih setia menggantung, angin bertiup sejuk, kicauan burung melengkapi pagi yang fitri. Terlihat dari seluruh penjuru, manusia berbondong-bondong memenuhi masjid-masjid sampai halaman, ada juga yang memilih lapangan atau tanah luas sebagai sarana untuk melaksanakan shalat sunnah iedul fitri. Lagi-lagi kami Tuhan, salah menempatkan yang seharusnya kami dahulukan. Entah mungkin inilah kebodohan atau ketidak pahaman kami. Kami begitu semangat dalam menjalankan shalat sunnah tahunan kami, ironisnya, kami selalu lalai dalam shalat lima waktu. Begitu tampak kesalahan di negeri kami Tuhan. Yang wajib kami tinggalkan bahkan kami acuhkan sedangkan sunnah begitu kami semarakan, itupun setahun sekali kami lakukan. Sholat lima waktu yang hanya membutuhkan 25 menit secara keseluruhan dari waktu 24 jam yang Engkau sediakan, kami sia-siakan begitu saja. Bagaimana Engkau tidak murka terhadap negeri kami Tuhan ? Sudah banyak murka yang Engkau berikan untuk negeri ini, hinga banyak di antara kami yang mengatakan "ini adalah cobaan, teguran atau bahkan siksa". Tapi tidak sedikit yang mengatakan inilah murka Tuhan terhadap negeri yang banyak dosa. Ujian demi ujian, kelaparan dimana-dimana, kehancuran dimana-mana, longsor, banjir bandang dan kebakaran sudah menajdi tontonan sehari-hari di negeri ini, tapi negeri ini masih saja tertidur dan bangga dengan dosa-dosa yang di lakukan. Negeri ini terlalu banyak melalaikan perintahMu Tuhan. Pantaslah Engkau murka kepada negeri kami Tuhan. "Tuhan maafkanlah dosa negeri kami di ulang tahunnya yang ke 67, terima kasih atas kemerdekaan yang masih Engkau berikan pada negeri ini”

Cerpen ini pernah di ikut sertakan pada ajang lomba Cerpens LP3I

>

Leave a Reply


Terimakasih sudah berkunjung :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

Blogger templates