DIA MASA LALUKU-



Selepas tamat dari sekolah dasar, di salah satu sekolah di jantung Ibu kota Jakarta, orang tua menyuruhku untuk mesantren sambil sekolah di daerah Tangerang. Sekolah madrasah tsanawiyah ‘MTs’ menjadi adaptasi baru bagiku. Aku lulus tahun 2003 silam. Tak ada kabar dari ibu untukku, apakah aku masih bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMA atau tidak. Aku pun mulai berpikir kesana kemari, dalam hatiku berbisik,” aku harus sekolah lagi !,” tapi aku binung harus tinggal dimana jika aku melnjutkan sekolah SMA di Tangerang, kemudian siapa yang membiayaiku?, karena aku memilih keluar dari asrama. Menurutku terlalu bosan tinggal di asrama selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Sudah saatnya aku keluar dari sana.

Setiap malam, aku terus berpikir bagaimana caranya, mustahil jika aku terus mengandalkan orang tua untuk membiayaiku, karena keadaan ekonomi  menjadi faktornya. Akhirnya, aku mendapat solusi malam itu, “bagaimana jika aku bekerja sebagai merbor masjid, dari situ aku akan mendapatkan uang, di situ juga aku bisa tinggal sebagai tempat berteduh.

Keesokan harinya, aku menemui teman yang juga seorang merbor masjid, spontan aku mengutarakan maksud kedatanganku. Bersyukur jawabannya membuatku sedikit lega dan puas, ia akan berusaha mengajukan permohonanku ke ketua DKM masjid tersebut. Malamnya, aku di panggil selepas isya oleh temanku tersebut, sekali lagi jawabannya membuatku puas. Aku di terima untuk menjadi merbot di masjid itu bersama dia.

Malamnya, aku berpikir bagaimana caranya untuk mendaftar ke sekolah SMA, aku pun banyak membuat permisalan mulai dari sekolah A sampai Z, sekolah seperti apa yang hendak aku pilih, SMA, SMK, Aliyah atau STM, tempat anak-anak berandal mencari musuh. Malam itu aku ambil keputusan, aku memilih sekolah Aliyah, bukan tanpa alasan. Pertama, aku lulusan MTs, bukan SMP, kedua, Aku berniat bukan hanya mencari ilmu di sekolah, tapi bagaimana memperbaiki diri lewat sentuhan guru-guru agama, karena Aliyah identik dengan peljaran agama dan juga murid-muridnya yang baik.

Setahun sudah, aku melalui perjuanganku di bangku Madrasah Aliyah kelas I, semua ku lalui dengan keprihatinan karena orang tua tidak bisa membantu biaya sekolahku. Bersyukur berkat keprihatinan dan kerja keras, aku duduk di kelas 2A IPA, sebenarnya dari awal aku memilih kelas sosial, tapi wali kelas dan guru Biologiku memaksaku agar masuk IPA, padahal aku sendiri tidak begitu PD, tapi menurut mereka nilai raporku tidak ada yang mengecewakan di tambah komentar dari guru Biologiku, “Aku tidak pernah absen dari kelas Biologi.”

Tawaran itupun aku terima dengan sedikit dada tersesak, ini adalah tantangan berat buatku. Aku harus belajar lebih giat, agar aku bisa memecahkan soal-soal Matematika, Fisika, Kimia, Biologi. Jujur saja aku tidak terlalu suka dengan matematika sejak MTs, tapi yang lainnya aku suka.

Mentari pagi masih memberi harapan untukku, awal belajar pagi itu langsung di hadapkan soal matematika, aku kebingungan menjawab soal itu. Beruntunglah temen sebangku setia mengajariku. Tak terasa, aku sudah di ujung hari untuk meninggalkan kelas 2A IPA, karena aku akan duduk di bangku kelas 3 IPA. Itu patut aku syukuri, karena pertolongan-Nya dan usahaku.

Selama belajar di SMA mulai dari kelas 1-2 aku tak pernah memikirkan soal wanita atau pacar, meski teman-teman kalau pulang sekolah selalu bergandengan tangan di hadapanku.

Malam begitu larut, aku terbawa oleh larutnya malam. Saat itu sedang libur sekolah kenaikan kelas, selama liburan aku hanya tinggal di masjid, ngobrol, gurau dan bercanda  sama teman yang juga marbot masjid. Pikiranku pun mulai tak terkendali, kesepian dalam hidupku mulai aku rasakan malam itu. Bagai bunga kering kerontang rasanya. Bayangan teman-teman yang suka bergandengan tangan dengan pacarnya selalui membayang-bayangiku. Aku mulai memiliki perasaan dan mengenal yang namanya cinta kepada lawan jenis, hingga tak ayal aku sering berkhayal “Seandainya ada wanita yang aku cinta kepadanya, dan ia cinta kepadaku, tidak akan terasa sepi malam-malamku, ada tempat curhat dan merebahkan harapan, cinta dan cita-cita.” aku memohon kepada Tuhan, kiranya Ia memberikan penyejuk dan penghibur hati saat aku sedang gelisah dan ada masalah.

Sore itu sperti biasa aku sedang mengepel teras bagian belakang masjid, kotor sekali penuh debu karena musin kemarau dan tiupan angin yang begitu kencang, shingga debu-debu berterbangan membuat kaca dan keramik massjid kotor.

“Ka, rajin banget sih, lagi ngepel yah...? sekalian rumahku tuh hehehe,” sapa se wanita berkerudung  merah sambil mengayun sepeda, “Ia nih kotor banget !” Jawabku. Ia berlaju dengan sepedanya, aku pun melanjutkan rutinitasku.

Rembulan bersama bercak awan kembali menyeruak di kegelapan bumiku. Angin dan kicauan daun  menyapaku kembali.  Aku masih duduk melamun di bibir pintu sebelah kanan masjid, bagiku ia bagaikan pintu menuju surga. Pikiranku mulai terganggu, tak lagi bisa kritis. Sosok gadis sore tadi menggelebat dalam benakku, terus. Aku mulai mencari cara agar tahu tentang dia yang sebenarnya, nama dan seterusnya. Teman senasibku memanggilku agar aku cepat tidur. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Aku pun kembali menyusuri gadis itu lewat mimpiku.

Hari minggu adalah hari kerja bakti masjid, seluruh lingkungan masjid tanpa terkecuali tempat tidurku harus di bersihkan. Usai kerja bakti, kami berdua istirahat sambil menyantap gorengan dan secangkir tea hangat yang masih mengepul. “Habis kerja bakti yah ka?” tanya seorang wanita, namanya khusnul khotimah, dia anak tetangga dekat masjid, dia menyambangi kami yang sedang istirahat, di tangannya ada dua mangkok bubur kacang ijo buatan ibunya. “Ia, barusan selesai Nul, makasih Nul kacang ijonya yah,” jawab temanku.

Spontan aku menemukan ide, “bagaimana kalo aku nanya ke dia aja tuh, kali aja dia tahu soal itu cewe.”

Malamnya aku beranikan diri untuk menemui dia di serambi masjid, biasanya dia berada di beranda rumahnya bersama adiknya, Ica. “Nul ! kemari deh, ada perlu bentar minta tolong boleh ga ?” panggilku dengan suara agak sedikit serak basah, akibat makan gorengan terlalu banyak, “Boleh... ada apa ka, Nul ke situ dech.”

Aku ceritakan awal kejadianku dengan gadis itu pada Nul, sampai ku beberkan ciri-ciri gadis itu.

 “Oh... itu namanya Fitry ka, panggilannya Nenk, dia anak sebrang deket sini, dia kalo magrib suka berangkat ngaji ke rumah Ust. Aminah, tau ga? Dia itu anak semata wayang di keluarga dia, da punya kakak ataupun adik, mang ada apa sih ka ? naksir yah?,” Nul memberikan jawaban dengan komplit. Aku tersenyum dengan penjelasan Nul, membuatku ingin semakin ambisius untuk mendapatkan dia.

“Yah... naksir sih ada Nul, tapikan, kenal aja belum, makannya aku tanya Nul, Nul ngomong-ngomong punya nomor hp dia ga ?” aku mulai ceroboh.

“Ada ka, tapi wani piro hahaha J ?” jawabnya penuh canda.

“Minta donk... tapi jangan bilang-bilang dia ya, janji !” pintaku.

“Nih, Nul kirim aja biar cepet, ia ga bakal kasih tahu !” sumpahnya ku ambil malam itu, kami berdua bagai agen CIA yang sedang memburu buronan kabur.

Selepas obrolan dengan Nul, aku masuk sebuah ruangan yang aku anggap itu sebagai kamarku, padahal penampakannya sama sekali tidak mencirikan kamar layaknya. Tapi mau di kata apa, di situ aku dan temanku  istirahat dalam penjagaan malam. Ku lihat temanku sudah tidur pulas, dia cepat ngantuk, jam sembilan saja dia sudah duluan ke kamar. Ini kesempatanku untuk membuktikan keberanian sebagai lelaki sejati J.

Ku cari nomor hp gadis itu di list kontak hp nokia jadulku, “Dapat !,”  dengan tangan agak berkeringat dingin, detak jantungku semakin kencang, tak ayal aku berlatih bicara sendiri, pertanyaan yang bagaimana yang harus aku tanyakan ke gadis itu. Rasa gugup menghampiriku, tak ayal aku membantalkan sampai empat kali untuk menelponnya. Ke-lima kalinya aku berhasil tersambung dengannya.

“Hallo, assalamu’alaikum..” suaranya yang merdu mengawali perbincangan kami di pesawat telpon, sekaligus aku semakin gugup saja.

“Hallo juga, ehm... !” aku mencoba berdehem, agar gugupku hilang.

“Ini siapa ya ?, kok ga ada namanya di hp ku,” tanya gadis itu penasaran.

“Ini aku Nenk eh salah ! Fitry maksudnya,” aku mulai terjebak perangkap musuh.

“Itu mah nama aku, kok tahu namaku Fitry dari siapa?,” pertanyaannya mematahkan jantungku. Ternyata, aku salah nyebut namaku sendiri.

“Eh... maaf, maksudnya ini Nenk Fitry yah ? aku di kasih tahu sama teman katanya nama kamu Nenk atau Fitry.”

“Ia tahu.. tapi kamu siapa ?,”

“Oh... nama aku Jounal, itu loh yang suka ngepel masjid Nenk,”

“Oh... ka Jounal, bilang dari tadi, aku sudah tahu nama kakak dari teman kakak ,” ambisiku semakin menggebu untuk mendapatkan hatinya.

Cukup lama aku ngobrol di telpon genggam dengannya, sampai jam setengah dua belas malam, sampe pulsaku bocor, untung kartunya sama. Aku semakin tahu soal pribadi dia, bahakan aku beranikan diri bertanya soal pripacy dia, syukurnya dia tidak marah dan senang sebaliknya. Wajahnya terus hadir dalam benakku. Hingga sampai pada puncaknya, aku bicara tentang maksud dan tujuanku padanya.

“Nenk, sudah punya pacar ga ?,” mungkin ini agak konyol menurutku, tapi harus bagaimana lagi.

“Belum ka,” jawabannya membuatku terpukau dan puas bukan kepalang “YES ! I got you.”

“Nenk sih mau aja, asal ka Jounal setia sama Nenk, Nenk ga mau sakit hati lagi kaya hubungan Nenk dulu.” Jawabnya membuatku segera memberi komitmen di atas keutuhan  dan kesetian cinta J.

Tiga bulan lamanya, kami menjalin hati. Satu sama lain saling mengerti tugas, hak dan kewajiban sebagai seorang pelajar. Aku yang sudah duduk di bangku kelas 3 IPA, yang sedang fokus untuk menghadapi UAN. Dia saat itu masih duduk di kelas satu Aliyah, dia jauh lebih muda usianya dariku. Dan kriteria itulah yang masuk dalam daftar pencarian cintaku selama ini. Bahkan aku pernah membca buku psikologis cinta, memang sudah seharusnya usia wanita yang kita cintai relativ lebih muda dari kita sebagai laki-laki, ini bertujuan, agar di antara bisa saling belajar, menerima perbedaan dan saling melengkapi satu dengan lainnya.

Dia, yah dia. Dia adalah masa laluku yang membuatku bangkit agar aku tetap fokus untuk menggapai cita-citaku di bidang akademisi. Dia mengharapkanku sukses di masa depan, dan jika Tuhan menakdirkan kami berdua untuk bersama kembali. Aku menyebutnya dengan “Mukzizat Cinta”.

>

LIBURAN PERTAMA-



Pagi sudah kembali menjelang, matahari sudah beranjak naik meninggalkan peraduannya. Asrama sudah mulai terlihat sepi di sana-sini, dari lantai paling dasar sampai lantai ke-tiga. Hanya ada beberapa mahasiswa saja di lapangan yang sedang berolah raga, macam-macam, ada yang bermain futsal, bola kaki, raket dan bela diri, semuanya serentak di lakukan waktu pagi.

Ini adalah liburan pertamaku usai mengerahkan semua energi dan kemampuan dalam menjawab soal-soal UAS di semester awal ini. Beruntung sekali teman-teman asrama yang pulang kampung pada liburan UAS ini, tidak denganku, rumahku tidak jauh, hanya saja sekarang sedang terkena musibah di wilayah Ibu kota Jakarta, tanpa terkecuali rumah orangtuaku ikut terkena banjir yang sampai sekarang kabarnya belum juga surut, di tambah uang yang di kirim kakak-ku seratus ribu sudah habis dalam waktu kurang dari sebulan, wajar saja, kebutuhan pribadi banyak, kebutuhan untuk urusan kuliah juga banyak, di tambah hutang ke teman gara-gara tugas makalah.

Liburan kali ini bagi mereka sangat berarti, tapi tidak denganku. Tak ada yang ingin aku lakukan saat liburan seperti ini, bahkan nyuci bajupun tertunda terus, akibat kegalauan yang menerpa menit-menitku. Terpaksa hanya memenjarakan diri di kamar, buka leptop. Terkadang aktivitas di kamar aneh-aneh, bahkan hari pertama liburan, seharian hanya nonton film Box Movies. Filmnya pun macam-macam, dari film ‘700 Days Of Battle Us Vs The Police’, ‘BATTLESHIP (2012)’, ‘Ninja 2009’ sampai film ‘Premium Rush’. Semua filmnya seru tidak ada yang jelek, karena baru pertama kali aku menontonnya, cukup menghibur buatku.

Di kamar yang di tempatiku, hanya tinggal lima orang denganku. Semua jumlahnya ada sembilan orang, empat orang pulang ke rumah masing-masing, ada yang ke Banjar – Kalimantan, Jambi dan dua orang lagi ke tangerang dan pasar minggu.

          Mengejutkan ! salah satu teman satu kamar berinisiatip mengajak berenang pagi ini, Ahmad Sururi namanya, rumahnya di tangerang sehingga kapan saja ia bisa pulang tidak terikat, mau itu liburan semester atau liburan perpekan. Aku yang sedang asik membaca artikel tulisan ‘Om Jonru’ tiba-tiba di ajak, sepontan aku meresponnya, “Mau donk ikut rur, tapi ane ga ada fulus nih,” “udah ente tinggal bawa badan sama salinan, ane yang bayarin.”

Siapa coba yang mau nolak ajakan berenang, udah gitu di bayarin lagi J. Aku bergegas menyiapakan baju untuk ganti di sana, tidak banyak yang di bawa Cuma, baju, celana, sampo sama handbody buat luluran ke badan sebelum jebur ke kolam renang, biar kulit tidak hitam dan juga kesat.

“Ayuk cepet dah siang nih, bangunin Ansori tuh !,” kata surur,

“Ansori bangun, ikut berenang yuk,” kataku

“Ih... ane belum mandi,” “ga papa, mandi sekalian di sana, ane juga belum mandi J.”

Matahari belum begitu naik, sehingga tidak terlalu panas, kamipun ber-lima berangkat menuju lokasi. Karena lokasinya tidak terlalu jauh, dan cukup terjangkau di tempuh dengan berjalan kaki, kamipun berjalan kaki kesana, “yah.. hitung-hitung olah raga bro.”

Sesampainya di lokasi, aku segera bertanya berapa kedalaman kolam renangnya, “Pak, berapa dalemnya di sini?” tanyaku penasaran,

“Dalemnya tiga meter,” jawab penjaga kolam.

Wah ! sangat menantang buatku, bersyukur aku sudah bisa berenang sejak masih kelas 5 SD di Bandar Lampung dulu. Kabar buruknya, Sururi tidak bisa berenang, padahal sudah mahasiswa J. Kami berempat mengajari dia teknik berenang, mulai dari teknik mengapungkan badan di air, teknik bernafas saat sampai teknik mengepakan tangan dan kaki.

“Ih... gimana sih ! ane kok tenggelem mulu badannya ! susah banget berenang,” protes Sururi, “Hahaha... namanya juga belajar, sabar  ! emang agak susah, apa lagi yang takut kelelep ga bakal bisa-bisa.” Jawabku.

Emang lucu yah, dia yang ngajak berenang, eh... dia juga yang ga bisa berenang, “Sururi kalah sama bebek” J. Di kolam renang, sebentar-bentar tertawa ngeliat dia berenang ga bisa-bisa, bukan cuma aku, orang lain yang lagi istirahat-capek, pada ngeliatin dia. “Ada bebek yang ga bisa berenang hahaha J.”

Cukup lama kami berenang, sampai jam dua belas siang. Kamipun istirahat dan bersih-bersih badan di kamar mandi plus ganti. Siap-siap pulang. Sebelum pulang, kami sholat dzuhur dulu, kebetulan di sana ada mushola yang di sediakan oleh pengelola kolam renang, tidak besar tapi cukuplah untuk sepuluh orang. Sesudah sholat, seperti biasa dan ini sudah adat bahkan sunnatullah mungkin, sehabis berenang biasanya perut lapar, karena capek sejak tadi energi habis terpakai untuk mengayuh tangan dan kaki di kolam. Kamipun makan Ketoprak dulu, sudah Ketopraknya enak “maklum orang laper”, di tambah Ketopraknya di traktir sama teman J.  “And let’s go home...!”

>

Liburan Ke-Dua-



Bosan ! bosan dan bosan ! mungkin yang aku rasakan pada liburan hari kedua ini. Sejak pagi sampai sore hanya memenjarakan diri di kamar. Mau ke luar, duit tak ada ! sudah ku coba sms ke kakak-ku tapi sampai sekarang belum dapat jawaban. Huh ! borring day!.
Cuaca sejak tadi pagi sampai sore hari sangat tidak bersahabat, pukul enam pagi saja hujan sudah turun, membuatku semakin bosan dan menambah menitku untuk berlama-lama di kamar bersama leptop mungil. Hari ke-dua benar sepi, yang hari pertama belum pulang ke kampungnya, hari ke-dua adalah hari puncaknya.
Kamarku di lantai tiga nomor lima, cukup sejuk di kamarku, karena angin langsung menyembur dari jendela kaca yang sengaja di buka. Agar kamar tidak terasa pengap dan bau. Di kamar ini aku suka menyendiri dan mnyepikan hati dari keramaian dunia di luar sana. Saat teman-teman lain pergi jalan-jalan ke luar kota, tidak denganku. Aku betah di kamar ini, betah terpaksa. Harus bagaimana lagi, inilah penderitaanku di liburan semester kali ini. Selembar uangpun tak ada yang terselip di dompet atau di saku baju dan celanaku.
Hanya saja tadi sempat keluar sebentar jam sembilan pagi, mengantar  teman ke dokter gigi. Sakit giginya semakin parah, terdapat bolongan besar di gigi Gusinya. Liburan kali ini dia memilih untuk tidak pualng ke rumahnya di Medan, alasannya, selain tidak ada ongkos pulang juga liburan seminggu bukanlah liburan yang lama, melainkan sangat sebentar. Jika liburan panjang dia akan pulang ke kampung halamannya.
Hari ke-dua liburan, tidak ada yang istimewa di bandingkan hari pertama liburan. Bahkan bisa aku katakan ini hari yang membosankan !.

>

HATIKU MELEBUR KARENANYA-



     Aku bagai orang yang terlupakan, aku ada, bagai tiada, pernah ketika lebaran, ibu berbelanja baju-baju baru di pasar malam bersama kakak perempuanku. Semua kebagian, kecuali aku. Alasan ibu, “ibu bukannya ga mau beliin baju buat kamu, tadi malam uangnya hanya cukup buat beli baju adikmu, lain kali saja”.

     Selalu saja ibu banyak alasan, ini bukan pertama kalinya ibu seperti itu, tapi sudah berulang kali. Aku marah, aku kesal ! aku banting pintu kamarku, ku kunci rapat-rapat. Aku tak mau ada orang yang masuk ke kamarku malam itu. Bapak mengetuk pintu, “Nak, jangan ngambek seperti itu, tidak baik, tolong buka pintunya, bapak mau bicara sama kamu,” dalam keadaan berkaca-kaca bercampur kesal aku membuka pintu, “Anak bapak kok nangis sih, malu tuh sama umur,” “ga nangis kok pak, Jounal cuma kesel aja” jawabku. Sikap bapak memang berbeda dengan ibu, sikapnya santun, lembut dan penyabar. Jujur, aku paling dekat dengan sosok bapak daripada ibu, bapak lebih paham tentangku daripada ibu.

     Bapak mengajakku duduk di bangku teras yang terbuat dari bambu hitam, buatan bapak sendiri, “Kamu kesal kenapa tadi nak ?,”  “Pak, kenapa sih semenjak Jounal duduk di kelas lima SD, ibu tak pernah lagi membelikan baju lebaran buat Jounal ?” bukan jawaban yang aku lontarkan, melainkan aku kembali bertanya pada bapak yang sejak tadi berwajah dingin.

     “Bapak tidak tau persis alasan ibumu tidak membelikan baju baru untuk lebaran besok. Tapi bapak punya kisah tentang masa kecil bapak dulu, kalo kamu bersedia mendengarkan kisah bapak, bapak akan cerita, tapi kalo tidak mau, ya... bapak tidak memaksa,” ku pandangi wajah bapak dalam-dalam, bapak bagai obat penawar bagiku, bapak selalu bisa menghibur di saat aku ada masalah. Aku menganggukan kepala, sebagai isyarat aku siap mendengarkan kisah bapak masa kecil dulu.

     “Nak, bapak bukan terlahir dari keluarga punya, ibu dan ayahnya bapak hanya seorang petani desa, bapak adalah anak pertama di keluarga itu, bapak punya adik dua laki-laki dan satu perempuan, keluarga bapak dulu hidup dalam keterbatasan, bergantung pada padi yang di tanam, kalo panennya bagus, kami bisa  makan sedikit lebih enak di bandingkan hari biasanya, tapi kalo panen padi sedang tidak bagus, terpaksa kami makan seadanya, bahkan pernah ibu  meminjam uang untuk membeli beras, karena uang sudah kritis dan habis. Ayah bapak hanya bisa menyekolahkan bapak sampai SD saja, karena faktor ekonomi yang tidak mendukung. Setelah tamat SD, bapak putuskan untuk membantu ayah dan ibu mengurusi padi di sawah, dari pagi sampai petang hanya itu pekerjaan bapak dulu. Suatu ketika, padi kami mengalami panen yang cukup bagus, sehingga separuh bisa di jual untuk mendapatkan uang, dan separuh lagi untuk persedian makan di rumah. Ibu keesokan harinya pergi ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan dapur dan baju-baju baru karena enam hari lagi hari raya idul fitri akan tiba. Ibu pulang dari pasar membawa baju-baju baru untuk lebaran besok, adik-adik bapak kebagian semua, kecuali bapak, ayah dan ibu. Ayah bapak tersenyum lebar melihat adik-adik bapak saat menjajal bajunya masing-masing, bapak ikut tersenyum meski tidak di belikan baju baru oleh ibu, ibu menghampiri bapak “Nak, maafin ibu ga bisa beliin baju baru buat kamu, ibu hanya beliin baju beru buat adik-adikmu saja, ibu sama ayah aja ga beli apa-apa nak, kamu kan anak paling gede, yah... untuk sementara ngalah dulu sama adik-adikmu ya nak...” itu kisah bapak kecil dulu, sama kaya kamu masalahnya ga di beliin baju baru buat lebaran, tapi bapak tidak menangis juga tidak kesel malah seneng melihat adik-adik bapak pakai baju baru, karena bapak anak laki-laki dan paling besar di keluarga bapak, begitulah ayah dan ibu mendidik bapak,”

     Usai menyimak tuturan kisah bapak, aku tersentuh, hatiku lebur, tak terasa air bening dari pipiku mengalir perlahan hingga jatuh ke bumi, aku memeluk bapakku erat-erat sambil ku berkata “Pak... maafin joual yah, yang udah buat bapak sedih, terimakasih atas nasihat dan pelajaran yang bapak kasih ke Jounal,” bapak melepaskan pelukan eratnya dariku, dan pergi begitu saja menuju ruang tamu. Dan aku masih terpaku di bangku teras sambil memandangi rembulan nan bintang-bintang yang ikut menghiburku.

>

WANITA KARIER-



Izinkan saya menulis sebuah artikel yang berkaitan dengan wanita karier, yang sering di pertanyakan di tengah-tengah masyarakat, ada sebuah pertanyaan “apakah boleh seorang wanita bekerja di luar rumah atau sebaliknya ?” pasti kita akan mendapati jawaban yang berbeda tentang masalah ini, kurang lebih ada tiga pendapat, ada yang berpendapat

1.      “boleh, seorang wanita itu bekerja di luar rumah, layaknya seorang laki-laki”,

2.      ada juga yang berpendapat “tidak boleh seorang wanita bekerja di luar rumah”,

3.       pendapat yang terkahir, “boleh wanita bekerja di luar rumah, tapi dengan syarat”.

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa “wanita juga mahkluk sosial dan merupakan bagian dari sosial itu sendri, jadi bukan hanya duduk di rumah, mencuci baju, menyediakan makanan, mengurusi rumah dan mendidik anak-anaknya. Mereka juga punya hak dalam urusan ekonomi, dengn cara bekerja maka ia akan mendapatkan upah dari pekerjaannya itu”.

Pendapat kedua yang mengatakan tidak boleh bahwasannya “pekerjaan wanita itu yang pokok, berdiam di rumah, melayani suami, mengurusi rumah dan mendidik anak-anaknya, karena ia merupakan kepala rumah tangga di saat suaminya pergi.” Jadi pendapat ini tidak setuju jika wanita harus bekerja di luar rumah, lebih lanjut mengatakan “keluarnya wanita dari rumah menyebabkan keluarga tercampakan dan terlantarnya anak-anak.”

Pendapat terakhir berpendapat bahwa “pekerjaan wanita di luar rumah itu juga boleh-boleh saja dan itu merupakan hak dia, pekerjaan yang paling pokok tentunya dia selalu berada di rumah, boleh saja ia bekerja di luar rumah tetapi dengan beberapa syarat:”

1.      Seyogyanya ia bekerja pada profesi yang cocok dengan kemampuan dia

2.      Tetap menjaga akhlak

3.      Menjauhi dari interaksi langsung dengan lelaki

Contohnya, seperti profesi dokter atau perawat, sebagai pengajar ia menjadi guru atau pendidik, dan profesi lain yang di dalamnya mayoritas wanita.

>
Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

Blogger templates