BIARKAN IA TERKEMBANG MENJADI KATA-



Sudah lima tahun kita tak pernah menyapa dan tak pernah bertatap muka, ruang dan waktu telah berperan penting selama kurun waktu lima tahun adanya. Kita telah mengambil jalan kita masing-masing.

Semua tentang kita adalah siluet belaka yang tampak pudar di kenang masa. Aku tak pernah tahu apa yang telah terjadi padamu selama lima tahun lamanya, mungkinkahkamu bertanya demikian pula padaku. Kita percaya, kita sudah dewasa, meski terbilang sifat kita masih kekanak-kanakan, itulah warna hidup yang harus kita terima. Aku tak ingin ciri khas kita seperti anak-anak kecil pada umumnya hilang begitu saja, mungkin kamu tak akan pernah mengenalku jika aku berubah drastis atau lidahmu akan kelu dan bertanya-tanya tentangku saat aku tak sengaja terhempas di hadapanmu.

Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, bagiku waktu yang cukup lama. Saat kepergianmu ke kota Surabaya untuk melanjutkan belajarmu di tingkat SMA, konon kabar kamu telah di terima di salah satu perguruan tinggi di kota ‘Bung Tomo’ itu. Hari-hariku hampa , kosong bagai kertas tak bertuliskan kata. Meski di luar sana aku mempunyai banyak sahabat yang bisa aku ajak bercengkarama hanya sekedar untuk melepas lelah. Tapi tetap saja hidupku yang sesungguhnya hampa.

Terasa sulit untukku mengubur semua lembaran-lembaran kenangan bersamamu, lembaran yang dulu rapih dengan warna-warni tentang kita, lembaran yang dulu terukir suka cita, canda dan tawa. Lima tahun, Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam benakmu tentang aku?, apakah kamu masih seperti yang dulu ? atau sudah berubah menjadi sosok yang tak lagi suka dengan lembaran-lembaran kenangan masa lalu kita?

Genap sudah lima tahun adanya, tanggal demi tanggal, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun yang ku tandai tepat di almanak yang tergantung di dinding kamarku yang dulu puith bersih, dan kini telah kusam tak berwarna.

Belum ada kata „apa kabar‟ atau sekedar „hai‟ yang terucap dari kamu maupun aku, yang menandakan bahwa percakapan kita harus segera dimulai. Tapi seperti ada kekuatan lain yang hadir, yang memaksa kita untuk bungkam. Kamu, yang biasa berekspresi ini itu tanpa malu-malu, mengapa “tak bicara lebih dulu? Dan aku, mengapa aku mendadak gagu? Aku menangkap pesan dari ekspresi itu, sinyal yang coba kita pancarkan: kita sama-sama tidak tahu jawabnya apa. Kita bagai tak pernah mengenal sebelumnya.

Tampak jelas nama akun facebookmu mucnul dalam daftar obrolan facebookku, begitupun akun facebookku muncul dalam daftar obrolan facebokkmu. Karena dulu kita sudah sepakat untuk tidak mengganti akun facebook kita masing-masing, agar tidak sulit ketika ada kebutuhan mendadak di antara kita. Aku yang sejak tadi diam hanya memandangi layar monitorku, sesekali aku berbisik ‘Sedang apa yang kamu lakukan di sana?’, tapi entah mengapa, keadaan semakin begitu terjepit, tak satupun di antara kita untuk menocba saling menyapa, atau memang kamu tak lagi mengenaliku.

“Masih online ?”

Keadaan yang hampa nan jenuh kini menjadi buncah dan gaduh, meski Aku tahu, bukan itu yang sebenarnya aku inginkan, terasa di buat-buat olehku.

“Masih, apa kabar?”

“Baik, gimana kabarmu?”

“Baik”

Jawaban kamu kini begitu pendek, mungkin agar seirama dengan pertanyaanku barusan, tapi bukan itu yang sebenarnya aku inginkan, tapi lebih dari itu. Lebih dari apa yang dulu kita pernah perbincangkan saat aku mendapatimu di dapur yang sibuk mencuci piring. Aku mulai merasa sesak, sesak dengan keadaan yang begitu kaku, jawabanmu mulai membuatku gugup, entah apa yang harus aku tanyakan lagi padamu? ‘Tuhan masihkah dia mengenaliku?’ bisikku yang mulai ragu akan kenyataan dirimu.

Perlahan, aku mulai mencari celah, agar aku bisa menenangkan saraf-sarafku yang mulai tegang. Perlahan nafasku ku tarik dan ku hembuskan ke alam bebas. Mulai sedikit tenang rasanya dibandingkan tadi.

“Kaka dimana?”

“Kaka di Jogja, kamu dimana?”

“Aku di rumah”

Aku mulai bertambah yakin, tapi di sisi lain aku mulai bertanya-tanya, tuluskah pertanyaanmu atau hanya sekedar menghilangkan kehampaan di layar monitormu. Di saat yang sama aku mencoba berprasangka baik padamu. Giliranku yang mengetik sebuah kalimat agar hilang rasa gugup dalam diriku,

“Lagi liburan yah? Gimana kuliahmu, oh ia... kamu masih inget ga sama jam warna pink yang dulu kamu kasih ke aku?”

Maaf aku mulai bertanya banyak ini dan itu, agar kamu mulai berpikir tentang jawaban dan tentangku.

“Hemzz... ia donk liburan, seneng banget bisa kumpul sama keluarga, kuliah yah... selama ini lancara-lancar aja, cuma terkadang kikuk kalo suruh ngerjain tugas :h: ”

Prasaanku mulai tak nyaman dengan jawabanmu, ada kejanggalan yang mungkin kamu sengaja. Mataku mulai berkaca-kaca, pipiku mulai becek padahal hari tak hujan.

“Lupa yah sama jam pinknya?”

Ku ketikan kalimat yang sama, tujuanku hanya untuk meyakinkan kamu,

“Dah simpan aja, ga usah di bahas kali”

Mata yang berkaca-kaca kini mulai nyata, pipiku mulai basah seolah tak bisa menerima jawaban yang kamu berikan, secepat kilat ku usap pipiku yang becek dengan lengan bajuku.

“Dah lima tahun ga pernah kontekan lagi, kangen nih hehehe”

Kuselipkan sedikit simbol senyum, agar Kamu kembali sadar akan waktu yang cukup lama, yang kini mulai menghapusku dari ingatanmu.

“Maen aja kerumah, udah dulu yah, aku mau tidur dah malem”

Belum selesai aku bicara denganmu, kamu mengakhirinya begitu saja tanpa kesepakatan bersama, sungguh kamu dimataku berbeda sekarang ini, yang dulu suka aneh, lucu kadang kamu memaksa aku untuk menjawab tebakanmu yang kamu sendiri tak tahu jawabannya, di sana kita kita akan tertawa bersama. Sungguh aku tak tahu apa yang selama ini terjadi denganmu, siapa yang selama ini kamu pergauli hingga kata-katamu tak lagi sedap untuk di dengar. Aku mulai sadar akan dunia kita yang sekarang berbeda, berbeda dari semua segi. Mungkin untuk saatnya aku harus menerima kenyataan sosok yang dulu lugu kini berubah menjadi sosok yang mulai di hinggapi rasa ragu.

Aku menyadari sesuatu bahwa bagian yang paling disesalkan dari kisah kita adalah kenyataan yang berbiacara “Dulu, antara kamu dan aku pernah ada sebuah rasa yang belum sempat terkembang menjadi kata.”

>

Leave a Reply


Terimakasih sudah berkunjung :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

Blogger templates