Hegemoni

Kita sama sebagai manusia, namun kita berbeda dalam banyak hal. Semua orang merasa dirinya paling hebat dalam hal-hal tertentu, tapi yakinlah ada hal-hal tertentu pula yang tidak pernah mereka bisa melakukannya. Kita yakin bahwa Tuhan itu satu, tapi di luar sana masih banyak yang menuhankan sesuatu sebagai Tuhan bagi dirinya, sehingga makna Esa itu terkadang sulit di gambarkan serta telah pudar rasa kebertuhanan bagi sebagian manusia di luar sana. Kita sama kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi ini, tapi di dalam diri kita masih banyak kriteria buruk dan tidak pantas menjadi khalifah di muka bumi ini. Kita sama di beri Tuhan kelebihan dan kekurangan, tapi di luar sana masih banyak anak manusia yang mencoba mengklaim dirinya paling hebat, kuat dan serba segalanya.
Dalam hidup dan kehidupan kita hanya butuh kebersamaan, seragam dalam segala hal tapi tidak memaksakan dalam keberyakinan akan Tuhan. Orangtua kita dulu banyak mengajarkan budi pekerti yang luhur dalam membangun sebuah pradaban di tengah-tengah hegemoni perbedaan kultur, budaya, agama, keyakinan serta norma-norma yang berlaku pada masa itu. Kita sebagai generasi pembaharu dari semua warisan orangtua kita dulu, sudah selayaknya kita lebih soft dan care untuk mewujudkan pradaban di tengah-tengah kemelutnya hidup berbangsa, beragama dan berbudaya.

>

Maaf;

Maaf,

Sebelum kedatanganmu, aku selalu mendo'akanmu semoga tidak ada aral yang melintang, hingg kau tiba dengan selamat. Segitupun sudah membuatku cukup. Dua minggu yang lalu terkabar siar tentang kedatanganmu ke kota dulumu, aku mengucap syukur "kau selamat".
Hari berganti hari kau mengisinya dengan penuh suka cita bersama abah, umi dan keluarga yang katanya amat kau cinta. Hingga berlebihan kau tulis di media sosial yang sekali klik milyaran manusia bisa melihat, membaca, melike bahkan mengomentari status yang keluar dari benakmu. Aku berucap lagi "Duh... seneng yah bisa kumpul sama keluarga" izinkan aku ikut senang bersamamu.
Momen ! yah suatu momen yg selalu kita harapkan kehadirannya, "maaf, aku ga bisa datang saat semua orang lain datang baik yg ku kenal atau tidak sama sekali". Lalu sebuah pesan melayang dari sudut kota sana ke screen messengerku "knp kk ga dtng?", itu sudah membuatku cukup senang, masih ada orang asing yg mau bertanya suatu hal kepadaku.
Iedul firty terus berlalu, kesalahan demi kesalahan selalu kita ciptakan, namun alangkah sayang tangan kita belum sempat berjabat tangan. Sampai detik ini aku belum juga datang menemuimu, untuk sekedar melihat raut wajah abah, umi dan ke-6 adikmu lalu duduk manis sambil meneguk air yg kau hidangkan atau mencicipi kue lebaran itupun jika kau suguhkan. Duh... betapa bodohnya aku, kini aku hanya bisa menyesali.
Terdengar kabar kau akan pulang ke sudut kota dimana keperibadianmu di bentuk di sana, esok atau lusa katanya. Tak terasa yah, begitu cepat aku menanam dosa namun setahun lagi atau bahkan selamanya aku tidak sempat berjabat tangan hanya sekedar berucap "Maafkan kesalahan saya".
Besok atau lusa adalah kenyataan, aku berdo'a saja pada dzat yg memegang ubun2 kita, semoga kesalahan yg kita ciptakan kita bisa saling memaafkan. Dan aku akan berdo'a setelah fajar berlalu perlahan mencipta waktu "Ya Allah... selamatkan adeku yang hendak kembali menguji ilmu di dada serta menolong apa yang semestinya di tolong", lalu kau selamat dan berpijak dengan kondisi sehat, itupun sudah membuatku lebih dari cukup untuk mengajariku bersyukur Tuhan perkenalkan aku denganmu untuk mencipta karya yang lebih besar dari sekedar menulis asa tentang 'rekayasa' yg suatu saat nanti akan kita rasakan buahnya.

KERELAAN,

Melepaskanmu untuk pergi, barangkali seperti meluruhkan jarak yang selama ini kita kutuki. Hadirnya kerelaan, tak selalu jadi penanda bahwa rindu itu kini telah sirna. Ada semacam metamorfosa, yang membawa kita pada sebuah kesadaran bahwa 'Amour Vincit Omnia' tak selamanya mesti kita maknai sebagai sebuah kemenangan atas kedekatan, interaksi atau bahkan kepemilikan atas nama apapun.

"Kebahagian tidak pernah bergantung pada kepemilikan kita atas sesuatu, bukan ?"
Maka usai paragraf ini berakhir, tak ada lagi pintu yang perlu diketuk. Tak ada lagi kunci yang mesti di cari. Tak perlu ada jauh-jauh yg lain. Biarkan semuanya berjalan begitu saja bersama do'a, tanpa rekayasa atau dramatisasi apapun.

>
Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

Blogger templates