BUKAN ! BUKAN ITU


"Maaf." Hanya ucapan maaf yang bisa aku ucapkan dari kejauhan. Dari sini, dari tempat yang kini aku belum sempat beranjak. Dari sini, dari tempat yang saat ini aku tak bisa membayangkan warna raut wajahmu yang tetiba berubah saat aku putuskan 'obrolan' siang itu. Tetiba rasanya kau kesal, gusar dan mungkin sampai-sampai kau tak ingin lagi mengenaliku seperti dulu lagi yang suka manut dan menurut apa kata perintahmu. Maaf, hanya kata itu yang bisa ku sajikan dari kejauhan atas segala kekurangan, kehilafan dan mungkin ketidakberdayaanku untuk mengabulkan permintaanmu. 

Seperti yang kau pernah bilang padaku waktu itu, 10 tahun yang lalu. Saat aku masih tumbuh sebagai manusia yang polos yang tak mengerti alur bicaramu. Tak memahami gaya bicara dan bahasamu. Atau lebih mudahnya aku yang masih manut dan nurut apa kata perintahmu. Sepuluh  tahun lalu. Ku rasa kau ingat itu. Kau pernah mengatakan, bahwa setiap pribadi manusia akan memilki cerita tersendiri lima, enam, tujuh atau bahkan sepuluh tahun kedepan seiring bergilirnya waktu

Kini, tepatnya sepuluh tahun aku berkelana membawa raga dan jiwaku menaiki puncak dan ketinggian. Juga menuruni lembah dan turunan. Mungkin tanpa kau sadari aku telah masuk dalam kerangka cerita dan ucapanmu sepuluh tahu lalu. Aku ingin membuat cerita tersendiri untuk hidupku lima, enam, tujuh bahkan sepuluh tahun kedepan, seperti katamu waktu itu. Aku ingin tak lagi hidup bergantung padamu. Aku ingin tak lagi memelas belas kasihan darimu. Aku tak ingin mendengar kata-kata nasehatmu lagi. Bukan, bukan aku ingin menutup rapat-rapat lubang telingaku tak ingin mendengar kata-katamu lagi. Bukan, bukan itu yang kumaksudkan. Tapi aku bosan dengan diriku sendiri yang hanya mendengar, merekam, membisu bagai patung seolah menjadi pendengar setiamu tapi tak pernah melakukan aksi nyata dari nasehatmu. Dan kembali hanya menyesali. Merenungi. Tapi diam tak berani aksi untuk benar-benar menjadi apa yang kau inginkan. Justru itu yang membuatku merasa tertawan. Terikat. Terkekang. Terpenjara. Atau bahkan kata-katamu hanya menjadi racun buatku, sehingga aku terlalu takut untuk tidak bisa menjalani hidup sebagai seorang laki-laki yang ditakdirkan oleh banyak keterpisahan dan kesendirian sejak sepuluh tahun silam.   

Maaf, tak henti-hentinya aku ingin mengucapkan kata maaf padamu sebagai penekanan bahwa ini adalah tanda penyesalan dan sekaligus permohonan agar bisa dimaafkan atas segala kesalahan. Bukan, bukan aku tak ingin menuruti permintaanmu tapi aku ingin sekali bahagia tanpa lagi memelas belas kasihan darimu. Jangan, jangan kau minta aku untuk membalas budi atas kebaikanmu padaku. Sungguh ! sungguh sampai kapanpun aku tak akan bisa melakukan itu. Kau terlalu baik bagiku yang pernah tuhan ciptakan untuk sentiasa mengulurkan tanganmu saat aku jatuh, lemah tak berdaya.

>

Bebaskanlah Dia


 ilustrasi image : deviantart.com

Pertengkaran kecil baru saja semalam terjadi. Akal sehatnya baru saja pergi, entah kemana ia pergi. Mungkin ia mencari aspirin yang bisa menyembuhkan luka lara di hatinya. Mungkin ia mencari sesuatu yang bisa meredamkan emosi tingkat tingginya. Mungkin ia mencari poros angin untuk mendinginkan kemelut panas di jiwa. Atau mencari sekepal bola salju di kutub utara untuk membekukan ingatannya pada pertengkaran kecil yang semalam baru saja terjadi. Kasihan.

Terlalu dini baginya untuk sakit hati dan menyakiti hati. Terlalu dini untuk menerima keputusan yang dia sendiri keukeh mencoba untuk mempertahankan. Terlalu dini baginya untuk memantik api pada jiwa yang ia sayangi. Sudah terlanjur nasi menjadi bubur. Untuk apa kau menyesali. Meratapi. Merenungi. Menangisi apa yang terjadi. Percuma saja kau berdo'a untuk diatukan dua jiwa yang berbeda, mustahil! Seperti kau berusaha menyatukan air dan minyak tanpa pengemulsi, kesia-sian belaka. Sudahlah berhenti untuk melakukan upaya tak ada makna. 

Kau pasti ingat cerita seorang majikan yang mencintai burung peliharaannya. Ia begitu dirawatnya. Dikasih makan tak pernah kelaparan. Diberi minum tak pernah merasa haus dan dahaga. Dibersihkan kandangnya dari kotoran. Dihias sangkarnya. Begitu amat sangat cinta dan sayang ia pada burung peliharaannya. Namun, tahukah engkau? seandainya kau bisa memahami bahasa burung itu, mungkin dia akan mengatakan;

"Mencintai bukan berarti mengekangku. Menyayangi bukan berarti mengurungku.Mengasihi bukan berarti menyiksaku. Bukan mempenjarakanku dalam ruang sempit hingga aku tak berdaya. Bukan, bukan seperti itu"

Namun apalah daya, burung tetaplah burung yang ditakdirkan tidak bisa dipahami bahasanya oleh segenap manusia. Tapi coba kau lihat si pemelihara, ia tetap tersenyum. Senang. Bahagia karena ia tak bisa mendengar bahasa jiwa yang dicintainya. Padahal yang dicintainya mengeluh dan menangis darah. Begitulah cerita cinta.

Dan kau, masih belum bisa memahami apa yang baru saja aku ceritakan. Sudahlah bebaskan jiwa yang kau cinta. Jangan kekang dia. Jangan kau jeruji dia. Jangan kau penjara dia meski kau sebenarnya mencintainya. Ia ibarat burung yang senantiasa memohon pada majikannya untuk dibebaskan.  Dilepaskan. Terbang bebas kemana dia suka. Dan sungguh kau mencintainya, iya kan?

Maka belajarlah kau untuk mncintai seseorang tanpa harus kau kekang. Belajarlah kau mencintai seseorang tanpa harus kau mempenjarakannya dalam tata ruang sempit yang hanya membuatnya tersiksa tak berdaya. Bebaskanlah dia. Yakinlah selama dunia belum hancur lebur. Di sana masih ada cinta. Cinta yang tidak dibungkus dengan kepalsuan dan kebohongan seperti cerita barusan.

>
Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

Blogger templates