DIA MASA LALUKU-



Selepas tamat dari sekolah dasar, di salah satu sekolah di jantung Ibu kota Jakarta, orang tua menyuruhku untuk mesantren sambil sekolah di daerah Tangerang. Sekolah madrasah tsanawiyah ‘MTs’ menjadi adaptasi baru bagiku. Aku lulus tahun 2003 silam. Tak ada kabar dari ibu untukku, apakah aku masih bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMA atau tidak. Aku pun mulai berpikir kesana kemari, dalam hatiku berbisik,” aku harus sekolah lagi !,” tapi aku binung harus tinggal dimana jika aku melnjutkan sekolah SMA di Tangerang, kemudian siapa yang membiayaiku?, karena aku memilih keluar dari asrama. Menurutku terlalu bosan tinggal di asrama selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Sudah saatnya aku keluar dari sana.

Setiap malam, aku terus berpikir bagaimana caranya, mustahil jika aku terus mengandalkan orang tua untuk membiayaiku, karena keadaan ekonomi  menjadi faktornya. Akhirnya, aku mendapat solusi malam itu, “bagaimana jika aku bekerja sebagai merbor masjid, dari situ aku akan mendapatkan uang, di situ juga aku bisa tinggal sebagai tempat berteduh.

Keesokan harinya, aku menemui teman yang juga seorang merbor masjid, spontan aku mengutarakan maksud kedatanganku. Bersyukur jawabannya membuatku sedikit lega dan puas, ia akan berusaha mengajukan permohonanku ke ketua DKM masjid tersebut. Malamnya, aku di panggil selepas isya oleh temanku tersebut, sekali lagi jawabannya membuatku puas. Aku di terima untuk menjadi merbot di masjid itu bersama dia.

Malamnya, aku berpikir bagaimana caranya untuk mendaftar ke sekolah SMA, aku pun banyak membuat permisalan mulai dari sekolah A sampai Z, sekolah seperti apa yang hendak aku pilih, SMA, SMK, Aliyah atau STM, tempat anak-anak berandal mencari musuh. Malam itu aku ambil keputusan, aku memilih sekolah Aliyah, bukan tanpa alasan. Pertama, aku lulusan MTs, bukan SMP, kedua, Aku berniat bukan hanya mencari ilmu di sekolah, tapi bagaimana memperbaiki diri lewat sentuhan guru-guru agama, karena Aliyah identik dengan peljaran agama dan juga murid-muridnya yang baik.

Setahun sudah, aku melalui perjuanganku di bangku Madrasah Aliyah kelas I, semua ku lalui dengan keprihatinan karena orang tua tidak bisa membantu biaya sekolahku. Bersyukur berkat keprihatinan dan kerja keras, aku duduk di kelas 2A IPA, sebenarnya dari awal aku memilih kelas sosial, tapi wali kelas dan guru Biologiku memaksaku agar masuk IPA, padahal aku sendiri tidak begitu PD, tapi menurut mereka nilai raporku tidak ada yang mengecewakan di tambah komentar dari guru Biologiku, “Aku tidak pernah absen dari kelas Biologi.”

Tawaran itupun aku terima dengan sedikit dada tersesak, ini adalah tantangan berat buatku. Aku harus belajar lebih giat, agar aku bisa memecahkan soal-soal Matematika, Fisika, Kimia, Biologi. Jujur saja aku tidak terlalu suka dengan matematika sejak MTs, tapi yang lainnya aku suka.

Mentari pagi masih memberi harapan untukku, awal belajar pagi itu langsung di hadapkan soal matematika, aku kebingungan menjawab soal itu. Beruntunglah temen sebangku setia mengajariku. Tak terasa, aku sudah di ujung hari untuk meninggalkan kelas 2A IPA, karena aku akan duduk di bangku kelas 3 IPA. Itu patut aku syukuri, karena pertolongan-Nya dan usahaku.

Selama belajar di SMA mulai dari kelas 1-2 aku tak pernah memikirkan soal wanita atau pacar, meski teman-teman kalau pulang sekolah selalu bergandengan tangan di hadapanku.

Malam begitu larut, aku terbawa oleh larutnya malam. Saat itu sedang libur sekolah kenaikan kelas, selama liburan aku hanya tinggal di masjid, ngobrol, gurau dan bercanda  sama teman yang juga marbot masjid. Pikiranku pun mulai tak terkendali, kesepian dalam hidupku mulai aku rasakan malam itu. Bagai bunga kering kerontang rasanya. Bayangan teman-teman yang suka bergandengan tangan dengan pacarnya selalui membayang-bayangiku. Aku mulai memiliki perasaan dan mengenal yang namanya cinta kepada lawan jenis, hingga tak ayal aku sering berkhayal “Seandainya ada wanita yang aku cinta kepadanya, dan ia cinta kepadaku, tidak akan terasa sepi malam-malamku, ada tempat curhat dan merebahkan harapan, cinta dan cita-cita.” aku memohon kepada Tuhan, kiranya Ia memberikan penyejuk dan penghibur hati saat aku sedang gelisah dan ada masalah.

Sore itu sperti biasa aku sedang mengepel teras bagian belakang masjid, kotor sekali penuh debu karena musin kemarau dan tiupan angin yang begitu kencang, shingga debu-debu berterbangan membuat kaca dan keramik massjid kotor.

“Ka, rajin banget sih, lagi ngepel yah...? sekalian rumahku tuh hehehe,” sapa se wanita berkerudung  merah sambil mengayun sepeda, “Ia nih kotor banget !” Jawabku. Ia berlaju dengan sepedanya, aku pun melanjutkan rutinitasku.

Rembulan bersama bercak awan kembali menyeruak di kegelapan bumiku. Angin dan kicauan daun  menyapaku kembali.  Aku masih duduk melamun di bibir pintu sebelah kanan masjid, bagiku ia bagaikan pintu menuju surga. Pikiranku mulai terganggu, tak lagi bisa kritis. Sosok gadis sore tadi menggelebat dalam benakku, terus. Aku mulai mencari cara agar tahu tentang dia yang sebenarnya, nama dan seterusnya. Teman senasibku memanggilku agar aku cepat tidur. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Aku pun kembali menyusuri gadis itu lewat mimpiku.

Hari minggu adalah hari kerja bakti masjid, seluruh lingkungan masjid tanpa terkecuali tempat tidurku harus di bersihkan. Usai kerja bakti, kami berdua istirahat sambil menyantap gorengan dan secangkir tea hangat yang masih mengepul. “Habis kerja bakti yah ka?” tanya seorang wanita, namanya khusnul khotimah, dia anak tetangga dekat masjid, dia menyambangi kami yang sedang istirahat, di tangannya ada dua mangkok bubur kacang ijo buatan ibunya. “Ia, barusan selesai Nul, makasih Nul kacang ijonya yah,” jawab temanku.

Spontan aku menemukan ide, “bagaimana kalo aku nanya ke dia aja tuh, kali aja dia tahu soal itu cewe.”

Malamnya aku beranikan diri untuk menemui dia di serambi masjid, biasanya dia berada di beranda rumahnya bersama adiknya, Ica. “Nul ! kemari deh, ada perlu bentar minta tolong boleh ga ?” panggilku dengan suara agak sedikit serak basah, akibat makan gorengan terlalu banyak, “Boleh... ada apa ka, Nul ke situ dech.”

Aku ceritakan awal kejadianku dengan gadis itu pada Nul, sampai ku beberkan ciri-ciri gadis itu.

 “Oh... itu namanya Fitry ka, panggilannya Nenk, dia anak sebrang deket sini, dia kalo magrib suka berangkat ngaji ke rumah Ust. Aminah, tau ga? Dia itu anak semata wayang di keluarga dia, da punya kakak ataupun adik, mang ada apa sih ka ? naksir yah?,” Nul memberikan jawaban dengan komplit. Aku tersenyum dengan penjelasan Nul, membuatku ingin semakin ambisius untuk mendapatkan dia.

“Yah... naksir sih ada Nul, tapikan, kenal aja belum, makannya aku tanya Nul, Nul ngomong-ngomong punya nomor hp dia ga ?” aku mulai ceroboh.

“Ada ka, tapi wani piro hahaha J ?” jawabnya penuh canda.

“Minta donk... tapi jangan bilang-bilang dia ya, janji !” pintaku.

“Nih, Nul kirim aja biar cepet, ia ga bakal kasih tahu !” sumpahnya ku ambil malam itu, kami berdua bagai agen CIA yang sedang memburu buronan kabur.

Selepas obrolan dengan Nul, aku masuk sebuah ruangan yang aku anggap itu sebagai kamarku, padahal penampakannya sama sekali tidak mencirikan kamar layaknya. Tapi mau di kata apa, di situ aku dan temanku  istirahat dalam penjagaan malam. Ku lihat temanku sudah tidur pulas, dia cepat ngantuk, jam sembilan saja dia sudah duluan ke kamar. Ini kesempatanku untuk membuktikan keberanian sebagai lelaki sejati J.

Ku cari nomor hp gadis itu di list kontak hp nokia jadulku, “Dapat !,”  dengan tangan agak berkeringat dingin, detak jantungku semakin kencang, tak ayal aku berlatih bicara sendiri, pertanyaan yang bagaimana yang harus aku tanyakan ke gadis itu. Rasa gugup menghampiriku, tak ayal aku membantalkan sampai empat kali untuk menelponnya. Ke-lima kalinya aku berhasil tersambung dengannya.

“Hallo, assalamu’alaikum..” suaranya yang merdu mengawali perbincangan kami di pesawat telpon, sekaligus aku semakin gugup saja.

“Hallo juga, ehm... !” aku mencoba berdehem, agar gugupku hilang.

“Ini siapa ya ?, kok ga ada namanya di hp ku,” tanya gadis itu penasaran.

“Ini aku Nenk eh salah ! Fitry maksudnya,” aku mulai terjebak perangkap musuh.

“Itu mah nama aku, kok tahu namaku Fitry dari siapa?,” pertanyaannya mematahkan jantungku. Ternyata, aku salah nyebut namaku sendiri.

“Eh... maaf, maksudnya ini Nenk Fitry yah ? aku di kasih tahu sama teman katanya nama kamu Nenk atau Fitry.”

“Ia tahu.. tapi kamu siapa ?,”

“Oh... nama aku Jounal, itu loh yang suka ngepel masjid Nenk,”

“Oh... ka Jounal, bilang dari tadi, aku sudah tahu nama kakak dari teman kakak ,” ambisiku semakin menggebu untuk mendapatkan hatinya.

Cukup lama aku ngobrol di telpon genggam dengannya, sampai jam setengah dua belas malam, sampe pulsaku bocor, untung kartunya sama. Aku semakin tahu soal pribadi dia, bahakan aku beranikan diri bertanya soal pripacy dia, syukurnya dia tidak marah dan senang sebaliknya. Wajahnya terus hadir dalam benakku. Hingga sampai pada puncaknya, aku bicara tentang maksud dan tujuanku padanya.

“Nenk, sudah punya pacar ga ?,” mungkin ini agak konyol menurutku, tapi harus bagaimana lagi.

“Belum ka,” jawabannya membuatku terpukau dan puas bukan kepalang “YES ! I got you.”

“Nenk sih mau aja, asal ka Jounal setia sama Nenk, Nenk ga mau sakit hati lagi kaya hubungan Nenk dulu.” Jawabnya membuatku segera memberi komitmen di atas keutuhan  dan kesetian cinta J.

Tiga bulan lamanya, kami menjalin hati. Satu sama lain saling mengerti tugas, hak dan kewajiban sebagai seorang pelajar. Aku yang sudah duduk di bangku kelas 3 IPA, yang sedang fokus untuk menghadapi UAN. Dia saat itu masih duduk di kelas satu Aliyah, dia jauh lebih muda usianya dariku. Dan kriteria itulah yang masuk dalam daftar pencarian cintaku selama ini. Bahkan aku pernah membca buku psikologis cinta, memang sudah seharusnya usia wanita yang kita cintai relativ lebih muda dari kita sebagai laki-laki, ini bertujuan, agar di antara bisa saling belajar, menerima perbedaan dan saling melengkapi satu dengan lainnya.

Dia, yah dia. Dia adalah masa laluku yang membuatku bangkit agar aku tetap fokus untuk menggapai cita-citaku di bidang akademisi. Dia mengharapkanku sukses di masa depan, dan jika Tuhan menakdirkan kami berdua untuk bersama kembali. Aku menyebutnya dengan “Mukzizat Cinta”.

>

3 responses to “DIA MASA LALUKU-

  1. terimakasih bng Vinky.... keep visit my blog :)

Leave a Reply


Terimakasih sudah berkunjung :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

Blogger templates